fbpx

Thierry Detournay “Cokelat Monggo” From Yogya With Chocolate

Oleh-oleh dari Yogya tak lagi batik dan gudeg. Jangan lupa menitip oleh-oleh kepada teman yang berlibur ke Yogya untuk membawakan Cokelat Monggo sebagai buah tangan. Tahun 2001 seorang backpacker asal Belgia, Thierry Detournay berpetualang mengelilingi negara-negara di Asia Tenggara.

Indonesia adalah negara terakhir yang akan disinggahi dalam daftarnya kala itu. Menginjakkan kakinya di Yogya, seketika ia jatuh cinta dengan kota tersebut, sayangnya di Yogya ia tak menemukan satupun cokelat yang ditemuinya sesuai dengan kualitas cokelat yang biasa didapatnya di Belgia.

Berangkat dari kekecewaan inilah Thierry membuat racikan cokelat sendiri dengan citarasa Belgia dengan sumber daya yang terbatas. “Awalnya saya hanya ingin memperkenalkan citarasa cokelat Belgia sebagai bagian dari budaya Belgia yang terkenal yaitu cokelat,” jelas Thierry dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar. Mulanya cokelat praline buatan Thierry dikenalkan ke teman-teman dekat, dan mereka menyukainya. Melihat antuasiasme dari teman-teman, Thierry mulai membuat cokelat praline dengan jumlah yang lebih banyak.

Dengan mengendarai Vespa warna pink yang disulap menjadi stand dadakan, Thierry memberanikan diri untuk berjualan di area UGM dan di area luar gereja Kota Baru setiap hari Minggu pagi. Tak ada niat mencari untung dari sini. Dia hanya ingin melihat reaksi dan minat masyarakat sekaligus mencari kesenangan semata karena ternyata cokelat buatannya disukai.

Dari sini tercetus ide, kenapa tak membuka toko cokelat. Apalagi Thierry melihat di Yogyakarta kala itu belum ada.  Memilih kota Yogyakarta oleh pria kelahiran 2 Maret 1966 ini pun karena alasan kenyamanan. “Yogya cukup nyaman, lebih mudah bersosialisasi mau kemana-mana dekat dibanding di Jakarta,” jelasnya.

 

Susah senang dibalik lahirnya Cokelat Monggo


Di Yogyakarta, Thierry dinobatkan sebagai Chocolatier pertama. Saat ditanya bagaimana perasaannya dengan “Saya bangga bisa mengembangkan profesi ini dan senang karena bisa sharing budaya tapi saya juga masih harus banyak belajar,” urai Thierry merendah.

Dibalik kesuksesan cokelat Monggo sekarang ini, dalam perbincangan Pastry&Bakery Mei lalu di Jakarta. Ada beberapa cerita menarik yang diungkapkan suami dari Andien Detournay ini. Demi mewujudkan impian membuka toko cokelat dengan sumber daya dan modal yang terbatas dia membuka toko dengan menyewa rumah kuno sebagai tokonya. Bak cerita dalam film Chocolate yang diperankan Juliette Binoche dan Johnny Depp yang mendapat tentangan dari berbagai pihak saat membuka toko cokelat di pedalaman Perancis. “Cerita saya mirip-mirip film Chocolate, agak sedikit menyesal, orang-orang sekitar waktu itu belum aware tentang cokelat,” urainya seraya tersenyum. Belum lagi menurut Thierry melihat perkembangan produk cokelat buatannya mulai dikenal di luar Yogyakarta sebagai salah satu oleh-oleh. Beberapa pihak ada yang iri dan berusaha melakukan hal yang kurang menyenangkan.

Tak putus asa Thierry pun tetap melanjutkan rencana dan pindah dari lokasi toko pertamanya ini dan membuka sebuah perusahaan dengan nama CV.Anugerah Mulia pada tahun 2005.  Dengan tim kecil yang penuh kreasi Thierry meluncurkan produk pertamanya dengan nama Cacaomania, berupa coklat praline yang ditujukan untuk kawula muda. Karena ingin sesuatu yang berbeda dengan khas Yogyakarta, muncullah ide nama Cokelat Monggo sebagai nama produk cokelatnya.

 

Dianggap Gila

 

Tak mau setengah-setengah dengan usaha yang dirintisnya, Thierry sempat pulang ke Belgia untuk mendalami kembali seluk-beluk ingredient unik satu ini dan belajar dengan chocolatier sahabatnya Frank Duval. Untuk hal ini Thierry dianggap gila oleh temannya ini karena bagaimanapun juga iklim tropis di Indonesia bisa mempengaruhi rasa cokelat itu sendiri.

Itulah mengapa Thierry lebih memilih dark chocolate sebagai produk utama dari cokelat Monggo. Selain dark chocolate lebih tahan untuk daerah tropis tapi juga mempertimbangkan faktor kesehatan.Thierry memang tak mau kompromi soal produk cokelatnya dengan bahan baku cokelat premium couverture lokal yang berasal dari biji kakao pilihan dari Jawa dan Sumatera. Dia meraciknya dengan citarasa Belgia dipadu dengan rempah-rempah yang ada di Indonesia seperti jahe dan kulit jeruk yang dibuat manisan. Selain itu juga dengan paduan caramel, macadamia, kacang mede, serta produk terbaru mereka dengan paduan kacang mede organik dari Flores. Dark chocolate yang digunakan cokelat Monggo terdiri dari dark chocolate dengan kandungan cocoa butter 58% dan 69%.

 

Kemasan Dengan Kertas Daur Ulang

Selain mengutamakan bahan baku berkualitas untuk cokelat produksinya, cokelat Monggo juga menggunakan kemasan dengan kertas daur ulang sebagai salah satu bentuk dukungan peduli lingkungan. Saat ini Thierry mengaku 70% pelanggan Cokelat Monggo adalah wanita yang biasanya berlibur ke Yogyakarta dan membawa Cokelat Monggo sebagai cinderamata. “Di Jawa Cokelat Monggo sudah dikenal sebagai cinderamata penyebaran produk kita pun sudah mulai meluas dengan bekerjasama dengan retail,” jelasnya.

Selain bisa didapat di showroom mereka di Kotagede Yogyakarta, Cokelat Monggo juga bisa diperoleh di beberapa toko retail besar, bakery dan toko oleh-oleh di Yogyakarta,  Jakarta, Surabaya, Bali, Semarang, Balikpapan dan Lampung.

Saat ditanya rencana untuk membuka toko khusus Cokelat Monggo sendiri. Saat ini menurut Thierry, semuanya masih dalam tahap penggodokan, karena saat ini Cokelat Monggo masih fokus untuk mengembangkan lebih banyak produk lagi jika ingin membuka toko khusus Cokelat Monggo sendiri. Meski ada beberapa permintaan ekspor dari beberapa pihak, Thierry masih mengutamakan pasar dalam negeri karena mempertimbangan kapasitas produksi Cokelat Monggo sendiri.

 

Pastry&Bakery@Novi Amaliyah, foto-foto : Rika Eridani/Richard Mandala.